Presiden Anwar Sadat, sang arsitek Perang Yom Kippur |
Tentang peperangan yang telah mewarnai sejarah dunia dan peradaban manusia di berbagai negara, termasuk Perang Yom Kippur, Chris Hegdes- seorang jurnalis harian The New York Times, pernah mengungkap sebuah pandangan pribadi yang cukup menarik untuk disimak. Katanya "it (war) can gives .us purpose, meaning, and respon for living."
Perang yang kebanyakan orang hanya menciptakan kehancuran dan pembunuhan. Lantas apa maksud kata kata Hegdes itu?
Kata-kata dimuat dalam buku karya hegdes yang berjudul War is a force That Gives Us Meaning (2002) itu tak sembarang dirangkai. Kata-kata itu mucul setelah ia melihat dan menyimak kerasnya perjuangan hidup dalam peperangan di Serbia, Bosnia, Teluk, Timur Tengah, Amerika Latin, dan sejumlah negara Afrika Selatan. Sebuah penjelajahan sekaligus petualangan yang kemudia membuahkan kepadanya penghargaan Pulitzer Prize for Explanatory Reporting (2002) dan Amnesty International Award for Human Right Jurnalism (2002),
Setelah terjadinya Perang Enam Hari, kita boleh jadi bisa memahami makna dari kata-kata Chris Hegdes itu. Bahwa, rakyat Israel, Mesir, Suriah, dan negara-negara Arab lainnya yang telah puluhan tahun terlibat dalam pertikaian tampaknya telah memperoleh akan guna, arti, dan alasan hidup mereka. Betapa pun perang hanya menciptakan kerusakan dan pembunuhan.
Perang Yom Kippur sendiri bisa dibilang titik kulmunasi dari upaya keras mereka dalam mempertentangkan keyakinan atas diri dan wilayah yang mereka tempati. Bangsa-bangsa Arab yakin bahwa merekalah pemilik sah dari tanah yang di duduki Israel. Sementara orang-orang Yahudi di Israel juga yakin bahwa merekalah pewaris sebenarnya wilayah disebelah barat Sungai Yordan itu.
Perang Yom Kippur adalah puncak dari serangkaian perang dan pertikaian yang telah dimulai sejak tahun 1920an. Sebelum itu mereka bertempur dalam Perang Enam Hari 1967, War of Attrition 1970, Perang Sinai 1956, dan Perang disekitar proklamasi Israel antara 1947-1949. Rangkaian perang inilah yang kemudian lazim disebut Perang Arab-Israel.
Pertikaian berawal dari kebimbangan Pemerintah Inggris dalam membagi wilayah Palestina yang dihibahkan Kekaisaran Ottoman, Turki. Alih-alih demi membagi yang adil, pada 1923 Inggris membagi 75 persen wilayah itu kepada warga Arab Palestina, sementara sisanya untuk Yahudi yang telah jauh melobi Perdana Mentri Inggris di London. Arab Palestina memperoleh wilayah di sebelah timur Sungai Yordan, sementara orang Yahudi mendapat wilayah yang terhampar disebelah barat Sungai Yordan. Pembagian seperti ini ternyata tak memuaskan Arab. Mereka berpendirian, seluruh wilayah adalah milik mereka dan orang-orang Yahudi tak berhak atas secuil pun wilayah tersebut.
Berdirinya negara Israel yang diproklamirkan para imigran Yahudi di wilayah barat Sungai Yordan tak ayal berbuntut pertikaian. Apalagi karena diwilayah yang sama juga bermukim sekelompok orang Arab Palestina. Permasalahan inilah yang kemudian memicu Perang Arab-Israel dan melahirkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) beserta seluruh organisasi perlawanannya.
Perang menjadi berkepanjangan karena kenyataannya menghadapi Israel tak semudah membalik telapak tangan. Meski Lebanon, Suriah, Irak, Yordania, Mesir secara geografis telah mengepung negeri kecil ini, toh diperlukan kekuatan besar untuk menaklukannya. Perang demi perang pun ikut memaksa masyarakat yang tinggal diwilayah pertikaian menyesuaikan diri serta memahami kegetiran yang mewarnainya.
Meski perang hanya menciptakan kehancuran, tetapi perang telah menyodorkan harapan untuk merengkuh hidup lebih baik. Meski perang telah membunuh saudara saudara mereka, tetapi perang telah mengobarkan semangat untuk beroleh kemenangan yang dahsyat. Meski perang telah mencerai beraikan mereka, tetapi perang juga telah mempererat kebersamaan diantara mereka.
Demikianlah desing peluru yang tak berkesudahan, ironisnya perang telah memberikan mereka manfaat, arti, dan alasan untuk hidup sendiri. Untuk kita yang hidup di negara yang jauh dari peperangan, perjalanan hidup seperti ini memang tidak lazim. Tetapi bagi masyarakat di negara-negara yang kerap di landa peperangan, hanya perjalanan seperti itulah yang diyakini bisa mengantar ke arah standar hidup yang lebih baik dan berarti.
Demikianlah, bisa dimengerti mengapa hati orang-orang Arab lalu remuk redam tatkala mendapati Anwar Sadat sang arsitek Perang Yom Kippur, justru memilih jalan damai dengan Israel. Perang Yom Kippur boleh jadi telah menjadi titik kulmunasi dari rangkaian Perang Arab-Israel sepertinya bukanlah akhir atau solusi dari berbagai persoalan yang mendasari rangakaian peperangan yang amat melelahkan itu.
Untuk itu, benar apa yang dikatakan Plato "Only the dead have seen the end of war" hanya orang matilah yang dapat menjadikan akhir dari peperangan...
Dikutip dari
Majalah Angkasa "The Yom Kippur War" (Eds) (2007) "Makna Perang Yom Kippur" hal. 3-5.
0 komentar:
Posting Komentar